YUK MENULIS, YUK!

DARI judulnya, MENGIKAT MAKNA, buku ini pastilah lain dari yang lain. Sudah banyak buku-buku tentang teknik menulis yang lahir dari para pengarang ternama di bumi pertiwi ini. Rata-rata bersemangat ketika memberikan kiat-kiatnya, baik judul maupun isinya. Mengarang Itu Gampang (Arswendo Atmowiloto); Yuk, Menulis Cerpen, Yuk (M. Diponegoro), Menggebrak Dunia Mengarang (Eka Budianta), adalah beberapa contoh saja.
Bila buku-buku yang sudah ada di pasaran lebih banyak memberikan kiat-kiat dalam menulis (cerpen, kolom, maupun buku), Mengikat Makna ini punya nilai plus tersendiri. Setidak ada tiga nilai plus dari buku yang satu ini.
Pertama, buku ini punya daya dorong pada pembacanya agar bisa membaca dengan memahami teks dan konteksnya. Jadi, tidak asal membaca saja. Tapi, lewat kiat-kiatnya, penulis memberikan sentuhan: bagaimana bisa memahami buku yang dibaca secara baik.
Kedua, pemahaman bacaan yang baik, lalu diresapkan, dan, seoptimal mungkin bisa memberikan gizi pada kualitas intelektual sang pembaca. Dengan gizi yang baik, sebuah buku akan bisa mengubah pola pikir dan pola tindak dari si pembaca.
Ketiga, buku ini mencoba memprovokasi pembacanya. Para pembaca tidak hanya didorong untuk bisa memahami dan mengubah pola pikir dan pola tindaknya, tapi juga memprovokasinya untuk menulis buku.
Tiga hal tersebut sangat kentara dalam buku yang ditulis dengan cara yang provokatif, penuh enerji, dan bergizi ini.
I I

DALAM suatu kesempatan berdiskusi dengan para da'i --juru dakwah-- se Jawa Timur, Oktober 1991, ada keluhan: ''Wah, menulis itu sulit, mas!''. Diskusi di Masjid Al-Falah, Surabaya itu memang bertema ''Teknik Membuat Laporan'' yang tentunya berkaitan dengan tulis-menulis.
''Lho, bukankah kalian ini pandai dan fasih berpidato?''
''Iya, namanya juga da'i. Tapi, ngomong dan nulis itu kan lain!'' jawab sekitar 30-an da'i muda yang, menurut pengurus lembaga induknya, adalah putra-putra terbaik dalam berdakwah di garis depan.
Para da'i sungguh fasih berdakwah, karena itu memang pekerjaannya. Tapi, ketika diminta menuliskan laporan bulanannya --yang berupa aktivitas, problema, dan penyelesaiannya-- tiba-tiba mereka jadi ''gagap''.
Tentu ada yang salah. Benar. Rupanya, mereka tak terbiasa menuangkan ide-idenya dalam bentuk kata-kata, menyusun kalimat, dan menjadi satu gugusan alinea. Padahal, para da'i itu adalah kelompok elit di lingkungannya.
Dia mendapatkan bahan-bahan ceramah, khotbah, dan pidatonya, dari bahan-bahan bacaan, baik yang berupa buku, hadits, Al-Quran, Koran, maupun fenomena alam dan sosial yang ada.
Kalau itu soalnya, sebenarnya mereka sudah punya modal. Tapi, modal saja tidak cukup. Ia mesti punya keberanian untuk memulai. Kalau mau berdagang, ya jangan takut kalau nantinya gagal dan merugi. Begitu pula dalam hal menulis. Modal sudah ada, tinggal menuangkannya.
Dan menulis, ibarat belajar naik sepeda. Tak ada orang yang tiba-tiba saja bisa mengendarai sepeda dengan mahir. Awalnya juga sempoyongan, menabrak pohon, tembok, bahkan orang yang sedang berjalan. Lutut terluka. Belum sembuh, sudah menabrak lagi. Luka lagi. Belum lagi kalau menabrak orang, dapat bonus: bentakan, cacian, dan mungkin tempelengan alias bogem mentah!
Tradisi atau etos menulis itulah yang mesti ditumbuhkembangkan. Tapi, etos itu baru bisa muncul ketika seseorang sudah faham benar dengan apa saja yang pernah ia baca. Ingat, lho, dalam komunitas prismatik --masyarakat transisi dalam terminologi ahli politik asal Amerika, Fred W. Rigg-- tak jarang orang menenteng buku hanya supaya dipandang sebagai orang terpelajar.
Padahal, fungsi buku, adalah bagaimana ia mampu mempengaruhi orang-orang yang membacanya. Kalau orang hanya sekedar membaca tapi tidak mengubah apa-apa terhadap dirinya, ya, sama juga bohong. Artinya, orang tersebut tak faham dengan apa yang dia baca. Membaca mesti bisa mempengaruhi dan atau mengubah pola pikir dan pola tindak seseorang. Bila ia sudah menjadi pemabaca yang ''berhasil'', maka ia bisa maju selangkah lagi: berpotensi menjadi seorang penulis.
Nah, dalam menulis itu tak ada teorinya. Yang ada adalah teknik. Ditambah pengalaman dan kemauan yang terus menerus.
I I I

SEKARANG mari kita melihat nilai plus dalam menulis dibanding dengan budaya oral dalam bentuk ceramah, khotbah, atau pidato.
Bila Anda berpidato --juga ceramah dan khotbah-- di depan podium, bisa jadi ditonton dan didengar oleh puluhan, ratusan, bahkan mungkin ribuan orang. Tingkat efektivitas untuk mengubah pola pikir dan pola laku seseorang tidaklah besar.
Orasi yang menggebu-nggebu misalnya, mungkin bisa ''membakar'', dalam suasana yang penuh emosional, pada saat yang bersamaan. Tapi, ketika pulang ke rumah masing, kembali dengan kesibukan masing-masing, dan segera akan terlupakan. Tunggu orasi berikutnya, dan segera terlupakan kembali. Pesan lewat oral nafasnya tidak panjang, sebatas jarak podium ke rumah.
Mau bukti? Lihatlah majelis-majelis taklim yang menyebar ke seantero geografis dan masyarakat Indonesia itu. Majelis taklim, yang berupa pesan-pesan moral tersebut, mestinya bisa mengubah pola pikira dan pola tindak jamaahnya.
Tapi apa yang Anda saksikan? Sifat-sifat yang berkaitan dengan nilai-nilai luhur agama seakan tak membekas. Mengapa? Karena jamaah hanya ''menonton'' dan ''mendengar'' saja. Tak lebih dari itu. Yang lebih menyedihkan, begitu para da'i, muballigh, atau orator tersebut meninggal, pesan-pesannya segera menghilang dari peredaran. Inilah akibat tragis dari ilmu yang tidak didokumentasikan dalam bentuk tulisan.
Berbeda dengan budaya tulis. Bila Anda menulis buku misalnya, maka karya tersebut akan dibaca oleh puluhan ribu, ratusan ribu, bahkan jutaan umat manusia. Bisa jadi dibaca oleh generasi ke generasi.
Lihatlah karya-karya Al-Ghazali (1058-1111 M). Karya legendarisnya, ''Ihya Ulumuddin'' dan ''Bidayatul Hidayah'', sampai sekarang dicari dan dibaca orang. Karya-karya lainnya, yang jumlahnya mencapai 200-an, juga masih diterbitkan oleh berbagai penerbit. Padahal, karya-karya tersebut ditulis pada abad 12.
Tengok pula pada pemikiran politik Islam klasik. Di pesantren-pesantren, nama Al-Mawardi (974-1058 M) sangat terkenal. Ini karena buah pikirannya tentang Administrasi Negara tertuang dalam buku ''Al-Ahkam al-Sulthaniyah''. Dalam buku ini pula ia mengemukakan pikiran-pikirannya tentang idealnya seorang kepala negara. Buku-buku tentang politik Islam yang ditulis orang di era milenium ini, tak pernah bisa melupakan jasa Al-Mawardi.
I V

SEKARANG, mari kita mulai melangkah, membiasakan menulis. Banyak cara untuk memulainya.
Pertama, dengan memanfaatkan catatan harian. Apa saja kejadian, baik yang dialami, dilihat, maupun di dengar, ditulis dalam catatan buku harian. Catatan itu bisa pendek, bisa juga panjang. Bisa pula berupa renungan.
Catatan-catatan tersebut, suatu hari akan bermanfaat. Lihat misalnya wartawan kawakan Rosihan Anwar. Dengan catatan-catatannya, ia bisa mengulas masa lalu, kini, dan esok, dengan amat memukau. Ini terlihat dalam tulisan-tulisannya yang menyebar di berbagai surat kabar dan majalah.
Buku catatan harian Kartini, Ahmad Wahib, dan Sio Hok Gie, adalah sekedar contoh.
Kedua, dalam bentuk surat-surat. Dengan surat, seseorang bisa menulis dengan leluasa, bergaya bebas, dan bisa berimprovisasi. Surat menyurat ini, sebagaimana buku catatan harian, bisa menjadi saksi sejarah. Lihatlah ''Surat-surat dari Endeh'', antara Soekarno dengan A. Hassan. Juga ''Surat-surat Kartini'', surat-surat Nurcholis Madjid dengan M. Roem, dan sebagainya. Bahkan, surat-surat yang ditujukan dari berbagai kalangan masyarakat yang ditujukan kepada Soeharto pun, pasca kelengserannya, sudah dibukukan.
Lalu, untuk konsumsi majalah atau koran, berbagai tulisan bisa disesuaikan dengan misi lembaga yang dituju. Tapi yang jelas, ada standarnya: berbagai tulisan itu hendaknya merujuk dengan perkembangan berita yang ada. Juga halaman yang tersedia. Kejelian membaca peluang, dari berbagai disiplin ilmu, pastilah bisa dimanfaatkan seoptimal mungkin guna menembus sekat-sekat yang ada di majalah atau koran.
Nah, selamat mencoba!

File yang Berhubungan



0 komentar:

Posting Komentar