Tikaman Terhadap Syafi’i

Setiap imam diikuti dua kelompok manusia yang saling berlawanan. Kelompok yang fanatik kepadanya dan kelompok yang membencinya. Sebagaimana yang telah disebutkan.
Demikian juga halnya dengan Syafi’i. Orang-orang yang fanatik kepadanya mensifatinya dengan sifat-sifat kesempurnaan sedemikian rupa, sehingga tidak ada seorang makhluk pun yang mampu menggapainya. Sebaliknya, orang-orang yang membencinya membuat hadis-hadis yang menurunkan derajatnya hingga tingkatan Iblis.
Ahmad bin Abdullah al-Juwaibari meriwayatkan dari Abdu bin Ma'dan, dari Anas, dari Rasulullah saw yang bersabda, "Akan datang pada umatku seorang laki-laki yang dipanggil dengan nama Muhammad bin Idris, dia lebih berbahaya bagi umatku dibandingkan Iblis. Juga akan datang pada umatku seorang laki-laki yang dipanggil dengan sebutan Abu Hanifah, dia adalah pelita bagi umatku."[204]
Tidak ada seorang pun yang meragukan bahwa hadis ini palsu.
Sebaliknya, Ibnu Abdul Barr meriwayatkan dengan bersanad kepada Suwaid bin Sa'id yang berkata, "Kami pernah bersama Sufyan bin 'Uyaynah di Mekkah. Lalu datang seorang laki-laki memberitahukan bahwa Syafi’i telah meninggal dunia. Kemudian Sufyan berkata, 'Jika Muhammad bin Idris meninggal dunia maka sungguh telah meninggal seutama-utamanya manusia pada zamannya."'[205]
Ini juga merupakan kabar bohong, karena Sufyan bin 'Uyaynah meninggal dunia pada tahun 198 Hijrah, yaitu enam tahun sebelum Syafi’i meninggal dunia.
Tuduhan yang dilontarkan kepada Syafi’i terkadang tuduhan bahwa dia itu Syi'ah, dia itu Mu'tazilah, dia itu meriwayatkan dari orang-orang yang suka dusta, dan dia itu orang yang sedikit bersandar kepada hadis.
Yahya bin Mu'in ditanya, "Apakah Syafi’i pernah berdusta?"
Yahya bin Mu'in menjawab, "Saya tidak ingin membicarakannya dan tidak ingin menyebut namanya."
Al-Khatib meriwayatkan dari Yahya bin Mu'in yang berkata, "Syafi’i bukan orang yang dapat dipercaya."
Di sana terdapat tuduhan-tuduhan yang tidak ada nilainya, yang tidak perlu kita kaji di sini. Namun yang menarik perhatian saya ialah tuduhan yang mengatakan bahwa Syafi’i itu Syi'ah. Tuduhan ini terhitung sebagai  tuduhan yang amat berbahaya pada saat itu, di mana pada saat itu kalangan Alawi dan Syi'ah dikejar-kejar dan dibunuh dengan cara yang paling keji. Sehingga sikap menampakkan permusuhan kepada Ali, anak-anaknya dan para pengikutnya menjadi suatu fenomena yang lumrah. Untuk lebih mengetahui hal ini secara mendalam silahkan Anda merujuk kepada kitab-kitab sejarah, seperti kitab Magatil ath-Thalibin, karya Abu Faraj al-Isfahani, sehingga Anda dapat mengetahui sedikit tentang berbagai macam siksaan yang ditimpakan kepada Ahlul Bait dan para pengikutnya. Oleh karena itu, masyarakat terbelah menjadi dua kelompok: Kelompok yang sabar dan berkorban untuk tetap berpegang kepada kepemimpinan Ahlul Bait, jumlah mereka sedikit sekali, sedangkan kelompok kedua yang merupakan kelompok mayoritas, mereka tunduk dan menukar agamanya dengan dunia para sultan. Sungguh benar apa yang telah dikatakan oleh Imam Husain, "Manusia itu hambanya dunia, dan agama hanya sebatas di lidah mereka. Mereka akan mengelilingi agama selama kehidupan masih mengalir kepada mereka, namun jika mereka diuji dengan bala maka sedikit sekali dari mereka yang benar-benar berpegang kepada agama."
Pada situasi yang dipenuhi dengan kegelapan ini Syafi’i menampakkan kecintaannya kepada Ahlul Bait. Dan karena semata-mata kecintaannya kepada Ahlul Bait inilah Syafi’i dituduh Syi'ah. Padahal sesungguhnya Syafi’i bukanlah seorang Syi'ah. Yaitu orang yang berpegang kepada kepemimpinan para Imam Ahlul Bait dan mengikuti jalan mereka. Melainkan itu hanya semata-mata kecintaan yang melekat pada fitrah setiap manusia. Oleh karena itu, Syafi’i berkata di dalam syairnya,
"Wahai Ahlul Bait Rasulullah, kecintaan kepadamu
merupakan kewajiban dari Allah di dalam
Al-Qur'an yang telah diturunkan-Nya.
Cukup menjadi bukti bagi keagungan kedudukanmu
bahwa barangsiapa yang tidak membaca salawat kepadamu
maka tidak ada salat baginya."
Dengan bersandar kepada firman Allah SWT yang berbunyi, "Katakanlah. 'Aku tidak meminta kepadamu suatu upah apa pun atas risalah yang aku sampaikan kecuali kecintaan kepada keluargaku." (QS. asy-Syura: 23)
Yaitu sebuah ayat yang dengan jelas mengatakan wajibnya mencintai Ahlul Bait as. Saya pernah heran, kenapa Allah SWT menjadikan upah penyampaian risalah-Nya terletak di dalam kecintaan kepada Ahlul Bait?! Masalah ini tetap belum jelas bagi saya kecuali setelah saya mengetahui betapa besarnya nilai cobaan yang terkandung di dalam kecintaan kepada Ahlul Bait dan berpegang kepada mereka. Inilah Syafi’i sebagai contoh yang ada di hadapan Anda, tatkala dia menampakkan kecintaannya kepada Ahlul Bait, maka dengan serta mereka menuduhnya sebagai rafidhi. Syafi’i berkata di dalam syairnya,
"Mereka berkata, 'Engkau telah menjadi rafidhi.'
Aku jawab, 'Sekali-kali tidak.
Aku bukan rafldhi, baik secara agama maupun keyakinan.
Namun tidak diragukan —memang— aku mencintai sebaik-baiknya Imam dan sebaik-baiknya penunjuk.
Jika kecintaan kepada al-washi dikatakan sebagai rafidhi,
maka ketahuilah sesungguhnya aku ini hamba yang paling rafidhi.'"
Tatkala Syafi’i menampakkan kecintaannya kepada Ali as, beberapa orang para penyair mengejeknya dengan mengatakan,
"Syafi’i mati dalam keadaan tidak tahu
apakah Ali Tuhannya atau Allah Tuhannya."
Pada situasi yang dipenuhi dengan kebencian dan penentangan terhadap Ahlul Bait dan para pengikutnya ini, Syafi’i tidak kendur di dalam menampakkan kecintaannya kepada Ahlul Bait. Bahkan dengan lantang dia mengatakan,
"Jika karena kecintaan kepada keluarga Muhammad seseorang dikatakan rafidhi,
maka biarlah jin dan manusia bersaksi bahwa aku ini seorang rafidhi."
Syafi’i juga menamakan orang yang memberontak dan memerangi Ali as sebagai orang pembuat makar. Tuduhan Syi'ah kepada Syafi’i adalah sesuatu yang memang ada. Namun setelah kami melakukan pengkajian, tampak jelas bagi kami bahwa Kesyi'ahan Syafi’i adalah semata-mata Kesyi'ahan apabila dibandingkan dengan masyarakatnya yang tenggelam di dalam kebencian kepada Ahlul Bait, karena mengikuti raja-raja mereka. Oleh karena itu, Syafi’i dituduh Syi'ah. Jika kita membebaskan masyarakat tersebut dari kepatuhan kepada penguasa dan politiknya, maka kita tidak akan mendapati seorang pun yang membenci Ahlul Bait, kecuali orang-orang Khawarij dan orang-orang yang mengikuti jejaknya. Hati seorang Muslim tidak akan kosong dari kecintaan kepada Ahlul Bait. Maka dengan begitu, Syafi’i hanyalah seorang pecinta Ahlul Bait, dan bukan seorang Syi'ah. Terdapat perbedaan yang besar di antara keduanya. Karena setiap orang yang mencintai nilai-nilai kebajikan maka dia pasti akan mencintai Ahlul Bait, yang merupakan perwujudan dari nilai-nilai kebajikan tersebut, meski pun dia bukan seorang Muslim. Bukti-bukti yang menunjukkan kepada hal itu banyak sekali. Beberapa di antaranya ialah: Seorang penulis Kristen yang bernama George Jordaq. Dia menulis sebuah ensiklopedia tentang Imam Ali as yang terdiri dari lima jilid. Dia menggambarkan Imam Ali dengan sifat-sifat yang amat agung. Dia juga menulis sebuah buku tentang Sayyidah Fatimah az-Zahra as, yang diberi judul Fatimah Witrfi Ghamad. Berikutnya adalah Salma Kattani, penulis buku al-lmam Ali Nibras wa Mitras. Demikian juga, qashidah terpanjang di dunia yang terdiri dari lima ribu bait, ditulis oleh seorang Kristen berkenaan dengan hak Imam Ali bin Abi Thalib as. Berikutnya, qashidah terpanjang kedua yang terdiri dari tiga ribu bait, yang juga ditulis oleh seorang Kristiani, juga berbicara tentang keutamaan Imam Ali as. Adapun qashidah terpanjang ketiga adalah qashidah yang terdiri dari seribu bait, yang juga ditulis oleh seorang Kristiani berkenaan dengan Imam Ali as. Namun ini semua tidak cukup untuk menunjukkan Kesyi'ahan mereka. Semata-mata hanya kecintaan tidaklah cukup. Karena kecintaan yang hakiki adalah berarti tunduk dan patuh kepada mereka, dan mengambil ajaran agama hanya dari mereka. Hal ini sebagaimana yang dikatakan oleh seorang penyair,
"Jika cintamu memang benar maka tentu kamu mentaatinya
karena sesungguhnya orang yang mencintai akan mentaati orang yang dicintainya."
4. IMAM AHMAD BIN HANBAL
Dia adalah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal. Dilahirkan pada tahun 164 Hijrah, di kota Baghdad, menurut pendapat yang lebih masyhur, atau di kota Marwa, menurut pendapat yang lebih lemah. Ahmad tumbuh sebagai yatim di bawah asuhan ibunya. Dia sudah mempunyai perhatian kepada ilmu ketika dia berumur lima belas tahun, yaitu pada tahun 179 Hijrah. Dia belajar ilmu hadis, setelah belajar membaca Al-Qur'an dan bahasa. Guru pertama tempat dia menimba ilmu ialah Hisyam bin Basyir as-Silmi, yang wafat pada tahun 183 Hijrah. Ahmad bin Hanbal menyertainya selama tiga tahun atau lebih. Dia telah melakukan perjalanan ke Mekkah, Kufah, Basrah, Madinah, Yaman, Syam dan Irak untuk mencari hadis. Di kota-kota tersebut dia berguru kepada sekumpulan para ulama, yang tidak perlu kita sebutkan di sini, namun yang terpenting dari mereka adalah Syafi’i; sehingga aneh sekali apabila orang-orang Hanbali mengatakan Syafi’i sebagai murid Ahmad bin Hanbal.
Ahmad bin Hanbal mempunyai murid yang banyak sekali, namun yang paling terkenal dari mereka ialah Ahmad bin Muhammad bin Hani, yang terkenal dengan panggilan al-Atsram, yang wafat pada tahun 261 Hijrah, kemudian Shalih bin Ahmad bin Hanbal, putra tertua Ahmad bin Hanbal, dan kemudian Abdullah bin Ahmad bin Hanbal, yang wafat pada tahun 290 Hijrah, dia meriwayatkan hadis dari ayahnya.
Kitab-Kitab Peninggalan Ahmad
Ahmad tidak pernah menulis sebuah kitab di dalam bidang fikih yang terhitung sebagai kitab induk, yang menjadi tempat pengambilan mazhab fikihnya. Dia hanya mempunyai kitab-kitab yang terhitung sebagai kitab-kitab fikih tematik, seperti kitab al-Manasik al-Kabirah, al-Manasik ash-Shaghirah, dan Risalah Shaghirah fi ash-Shalah. Namun, kitab-kitab tersebut tidak lebih hanya merupakan kitab-kitab hadis, meski pun terhadap beberapa temanya dilakukan penjelasan dan pembahasan.[206]
Dia terkenal tidak mau menulis kitab yang memuat tafri' (pencabangan) dan ra'yu. Pada suatu hari dia pernah berkata kepada Usman bin Sa'id, "Janganlah kamu melihat kepada isi kitab Abi 'Ubaid, juga kepada kitab yang ditulis oleh Ishaq, Sufyan, Syafi’i dan Malik. Kamu harus berpegang kepada pokok."
Yang paling termasyhur dari karyanya di dalam bidang hadis adalah kitab musnadnya, yang mencakup empat puluh ribu hadis, di mana sepuluh ribu hadis darinya disebut berulang. Ahmad bin Hanbal amat percaya dengan kitab musnadnya. Ketika dia ditanya tentang sebuah hadis, dia berkata, "Lihatlah, jika terdapat di dalam musnad maka itu hujjah, namun jika maka itu bukan hujjah." Banyak dari para huffazh yang meragukannya, dan mereka tidak mempercayai semua yang ada di dalamnya; bahkan dengan lantang mereka mengatakan akan adanya riwayat-riwayat palsu. Namun di sini bukan tempatnya kita membahas masalah ini.
Malapetaka Yang Menimpa Ahmad bin Hanbal
Sesungguhnya tikungan yang paling tampak dalam sejarah kehidupan Ahmad bin Hanbal ialah malapetaka yang menimpanya disebabkan perkataannya bahwa Al-Qur'an itu bukan makhluk. Malapetaka yang menimpa dia dimulai pada zaman Makmun yang memerintahkan manusia dengan kekerasan untuk mengatakan bahwa Al-Qur'an itu makhluk. Makmun adalah seorang mutakallim yang alim. Dia mengirimkan surat edaran kepada seluruh gubernurnya, dan memerintahkan kepada mereka untuk menguji manusia akan keyakinan bahwa Al-Qur'an itu makhluk. Di dalam surat edarannya itu dia mengatakan, "Sesungguhnya wajib atas khalifah kaum Muslimin untuk menjaga dan menegakkan agama, serta melaksanakan kebenaran pada rakyat. Amirul Mukminin telah mengetahui bahwa sebagian besar dari kalangan masyarakat umum, yang tidak mempunyai pandangan dan perenungan, tidak mempunyai argumentasi yang berdasarkan petunjuk dan hidayah Allah, dan tidak diterangi oleh cahaya ilmu dan argumentasi, mereka itu orang-orang yang bodoh akan Allah SWT, buta terhadap-Nya, tersesat dari hakikat agama-Nya, tauhid-Nya dan iman kepada-Nya, menyimpang dari tanda-tanda-Nya yang amat jelas, tidak mampu menghargai Allah sesuai dengan kadar-Nya, dan tidak mampu mengetahui hakikat pengenalan-Nya; disebabkan karena lemahnya pandangan-pandangan mereka, kurangnya akal mereka, dan kelalaian mereka dari bertafakkur dan mengambil pelajaran. Oleh karena itu, mereka menyamakan antara Allah dengan apa yang telah diturunkan-Nya, yaitu Al-Qur'an. Lalu mereka sepakat menerapkan bahwa Al-Qur'an itu qadim dan azali, serta tidak diciptakan oleh Allah SWT.."[207]
Dari sinilah dimulai malapetaka "makhluknya Al-Qur'an". Ibnu Hanbal tidak masuk ke dalam perangkap ujian kecuali pada masa Mu'tashim, disebabkan Makmun meninggal dunia sebelum sempat mengujinya. Mu'tashim sangat keras di dalam menguji orang. Ketika datang giliran Ahmad bin Hanbal, Mu'tashim bersumpah tidak akan membunuhnya dengan pedang, melainkan dia akan memukulinya dengan pukulan demi pukulan, dan kemudian melemparkannya ke dalam ruangan yang gelap gulita yang tidak ada cahaya sama sekali. Ahmad bin Hanbal menjalani ujian selama tiga hari. Setiap hari dia didatangi untuk diajak dialog. Hampir saja dia tunduk kepada pandangan penguasa, namun dengan segera dia berpegang kepada keyakinannya dan menolak pandangan penguasa. Ketika Mu'tashim telah merasa putus asa darinya, maka dia pun memerintahkan supaya Ahmad bin Hanbal dipukul dengan cambuk. Ahmad bin Hanbal dipukul sebanyak 38 cambukkan. Namun, siksaan yang ditimpakan kepada Ahmad bin Hanbal tidak terus berlanjut, bahkan Mu'tashim melepaskannya. Hal ini menimbulkan keheranan. Apakah kejadian ini cukup untuk menjadikan Ahmad sebagai pahlawan sejarah, padahal sejarah telah menyaksikan orang-orang yang mengalami penyiksaan yang lebih kejam dari Ahmad dan mereka sabar?! Kemudian, kenapa siksaan yang ditimpakan kepadanya tidak berlanjut?! Apakah dia telah tunduk kepada perkataan sultan?!
Sebagian dari mereka menyebutkan, bahwa masyarakat umum telah berkumpul mengepung rumah sultan, dan mereka telah bertekad untuk menyerangnya, maka akhirnya Mu'atshim memerintahkan untuk melepaskannya. Perkataan ini tidak sesuai dengan kenyataan. Karena sejarah mencatat Mu'tashim sebagai orang yang kuat dan memiliki kemauan yang keras, di samping besarnya daerah kekuasaan yang dimilikinya, sehingga penolakan masyarakat umum tidak akan berpengaruh kepadanya. Lantas, masyarakat umum yang mana? Apakah mereka itu pengikut Ahmad?! Padahal Ahmad belum dikenal sebelum peristiwa malapetaka itu, sehingga dia mempunyai masyarakat umum. Jika memang mereka itu pengikut Ahmad, Ahmad telah melarang mereka untuk memberontak kepada sultan..! Sehingga dengan demikian, alasan yang dikemukakan di atas tidak memuaskan.
Tampak jelas bahwa yang menjadi sebab kenapa Ahmad dibebaskan adalah karena Ahmad memenuhi keinginan khalifah dan mengatakan apa yang dikatakannya. Hal ini sebagaimana yang disebutkan oleh al-Jahidz di dalam suratnya yang ditujukan kepada Ahlul Hadis, setelah dia menyebutkan malapetaka dan ujian,
"Sahabat kalian ini —yaitu Ahmad bin Hanbal— mengatakan bahwa tidak ada taqiyyah kecuali di negara syirik. Jika pengakuannya yang mengatakan bahwa Al-Qur'an itu makhluk hanyalah merupakan upaya tagiyyah darinya, maka berarti dia telah melakukan taqiyyah di negeri Islam, dan ini berarti dia telah membohongi dirinya. Dan jika pengakuannya itu disertai dengan keyakinan akan kebenaran apa yang diakuinya itu, maka berarti dia bukan lagi dari kamu dan kamu juga bukan lagi dari dia. Padahal dia tidak melihat pedang yang terhunus, dan tidak mendapat pukulan yang banyak. Dia hanya dipukul sebanyak tiga puluh cambukan, sehingga dengan lancar dia mengatakan apa yang diminta oleh sultan. Padahal dia tidak ditempatkan di ruang-an yang sempit, dan tidak diberati dengan besi."[208]
Juga turut memperkuat apa yang dikatakan oleh al-Jahidz tentang pengakuan Ahmad bin Hanbal bahwa Al-Qur'an itu makhluk, apa yang disebutkan oleh Ya'qubi di dalam kitab tarikhnya. Ya'qubi berkata, "Mu'tashim menguji Ahmad bin Hanbal di dalam masalah kemakhlukan Al-Qur'an. Ahmad berkata, 'Saya adalah seorang laki-laki yang mengetahui suatu ilmu, namun tidak mengatakan demikian dalam masalah ini.' Maka Mu'tashim pun menghadirkan beberapa orang fukaha untuknya, maka Abdurrahman bin Ishaq dan yang lainnya pun berdialog dengannya. Ahmad bin Hanbal tetap tidak mau mengatakan bahwa Al-Qur'an itu makhluk, sehingga akhirnya dia dipukul dengan beberapa kali cambukan. Ibnu Ishaq berkata, 'Biar saya, ya Amirul Mukminin, yang berdialog dengannya.' Mu'tashim berkata, 'Aku serahkan urusan dia kepadamu.' Maka Ibnu Ishaq berkata, 'llmu yang kamu ketahui ini, apakah diturunkan oleh malaikat kepadamu atau kamu mengetahuinya dari beberapa orang?!'
Ahmad menjawab, 'Tentu, saya mengetahuinya dari beberapa orang.'
Ibnu Ishaq bertanya lagi, 'Apakah kamu ketahui sedikit demi sedikit atau secara sekaligus?'
Ahmad bin Hanbal menjawab, 'Saya mengetahuinya sedikit demi sedikit.'
Ibnu Ishaq bertanya, 'Maka berarti masih ada sesuatu yang tidak kamu ketahui.'
Ahmad bin Hanbal menjawab, 'Masih ada sesuatu yang saya tidak ketahui.'"
Ibnu Ishaq berkata, "Dan ini termasuk salah satu perkara yang tidak kamu ketahui; yang Amirul Mukminin ajarkan kepadamu."
Ahmad bin Hanbal menjawab, "Saya akan mengatakan apa yang dikatakan oleh Amirul Mukminin."
Ibnu Ishaq berkata, "Berkenaan dengan kemakhlukan Al-Qur'an?"
Ahmad menjawab, "Ya, berkenaan dengan kemakhlukan Al-Qur'an."
Lalu Ahmad bin Hanbal pun memberikan kesaksian tentang kemakhlukan Al-Qur'an, dan Oleh karena itu, mereka membebaskannya kembali ke rumahnya.[209]
Pahlawan-Pahlawan Yang Tidak Tunduk Pada Keadaan
1. Ahmad bin Nashr al-Khaza'i, yang terbunuh pada tahun 231 Hijrah. Dia adalah salah seorang murid Malik bin Anas. Ibnu Mu'in dan Muhammad bin Yusuf menceritakan bahwa dia termasuk salah seorang ahli ilmu. Al-Watsiq telah mengujinya dengan pertanyaan, apa pendapatmu tentang Al-Qur'an?
Ahmad bin Nashr al-Khaza'i berkata, "Kalam Allah, dan bukan makhluk."
Maka al-Watsiq pun memaksanya untuk mengatakan bahwa Al-Qur'an itu makhluk, namun Ahmad bin Nashr al-Khaza'i tetap menolaknya. Kemudian al-Watsiq bertanya lagi kepadanya tentang melihat Allah pada hari kiamat. Ahmad bin Nashr menjawab, "Ya, Allah SWT dapat dilihat pada hari kiamat." Lalu dia mengutip hadis-hadis yang berbicara tentang hal itu.
Al-Watsiq berkata, "Celaka kamu. Apakah Dia dapat dilihat sebagaimana dapat dilihatnya jisim yang terbatas dan menempati ruang. Sungguh, Anda telah kafir dengan mengatakan Tuhan yang memiliki sifat-sifat ini."
Manakala Ahmad bin Nashr al-Khaza'I tetap bersikeras dengan pandangannya, maka Khalifah pun mendatangkan sebilah pedang yang dijuluki shamshamah (pedang sekali tebas, karena sangat tajamnya). Khalifah berkata, "Saya akan membuat perhitungan dengan orang kafir ini, yang tidak menyembah Tuhan yang kita sembah, dan mensifati-Nya dengan sifat yang tidak kita akui. Kemudian Khalifah berjalan menghampirinya, dan lalu memenggal lehernya. Selanjutnya Khalifah memerintahkan supaya kepala Ahmad bin Nashr dibawa ke kota Baghdad. Di sana, kepala Ahmad bin Nashr ditancapkan di sebelah timur kota selama berhari-hari, dan kemudian di sebelah barat kota beberapa hari. Ketika tubuh Ahmad bin Nashr disalib, al-Watsiq menulis di atas secarik kertas, dan kemudian menggantungnya pada kepala Ahmad bin Nashr. Bunyi tulisan itu sebagai berikut, "Ini adalah kepala Ahmad bin Nashr bin Malik. Abdullah al-Imam Harun —yaitu al-Watsiq— telah menyerunya kepada keyakinan kemakhlukan Al-Qur'an dan penafian tasybih, namun dia bersikeras menolaknya, maka Allah SWT pun mensegerakan dia ke dalam neraka."[210]
2. Yusuf bin Yahya al-Buwaithi. Sebagaimana telah dijelaskan bahwa dia adalah salah seorang murid Imam Syafi’i, dan merupakan penggantinya yang meneruskan majlis pelajarannya. Yusuf bin Yahya al-Buwaithi dibawa dari Mesir ke Baghdad dalam keadaan tubuhnya diberati dengan empat puluh potongan besi. Dia diminta untuk mengatakan bahwa Al-Qur'an itu makhluk, namun dia menolaknya. Dia tetap bersikeras menolak bahwa Al-Qur'an itu makhluk sehingga dia meninggal dunia di dalam penjara pada tahun 232 Hijrah.
Dan banyak lagi pahlwan-pahlawan lain, yang tidak mungkin dapat disebutkan di sini secara satu persatu, yang mana mereka lebih teguh dan lebih keras di dalam memegang keyakinannya dibandingkan Ahmad bin Hanbal. Sungguh merupakan kezaliman manakala disebutkan bahwa hanya Ahmad bin Hanbal saja yang mendapat ujian, dan itu dihitung sebagai kepahlawanannya yang terbesar. Padahal -sebagaimana Anda ketahui- Ahmad bin Hanbal sama sekali tidak demikian.
Dia justru tunduk dan mau menerima apa yang dikatakan oleh Mu'tashim.
Ahmad Pada Masa Mutawakkil
Ketika Mutawakkil menduduki puncak kekuasaan, dia mendekati kelompok Ahlul Hadis dan mengintimidasi kelompok Mu'tazilah. Persis kebalikan pada masa Ma'mun, Mu'tashim dan al-Watsiq. Mutawakkil menguji masyarakat tentang kemakhlukan Al-Qur'an. Siapa saja yang mengatakan Al-Qur'an itu makhluk, maka dia akan disiksa dan dibunuh. Maka kelompok Ahlul Hadis pun menemukan sasaran mereka, dan gaung mereka pun menjadi besar. Mereka menempati kedudukan yang tinggi, dan menuntut balas dendam dari kalangan Mu'tazilah dengan sekejam-kejamnya.
Ahmad Amin berkata, "Khalifah Mutawakkil ingin merangkul pendapat umum dan mendapatkan dukungan mereka. Oleh karena itu, dia pun membatalkan perkataannya tentang kemakhlukan Al-Qur'an, membatalkan ujian dan pengadilan, dan menolong para ahli hadis."[211]
Merupakan keuntungan terbesar bagi Ahmad bin Hanbal manakala dia dekat dengan Mutawakkil. Karena dia adalah orang yang masih tersisa dari malapetka "kemakhlukan Al-Qur'an", setelah pahlawan-pahlawannya dibunuh. Mutawakkil berpesan kepada para gubernurnya untuk menghormati dan menghargai Ahmad bin Hanbal. Dia juga bersimpati kepadanya dan memberikan empat ribu dirham kepadanya setiap bulan.[212] Maka bersinarlah bintang Ahmad, dan masyarakatpun berbondong-bondong mendatangi pintu rumahnya, begitu juga dengan para pejabat pemerintah. Sebagai gantinya Ahmad mengakui keabsahan kekhilafahan dan kepemimpinan Mutawakkil serta mewajibkan ketaatan kepadanya. Pemerintah sangat mendukung Ahmad dan menguatkan posisinya. Ini tidaklah heran karena Ahmad berpendapat seseorang wajib taat kepada pemimpin, baik itu pemimpin yang baik maupun pemimpin yang jahat.
Ahmad berkata di dalam salah satu risalahnya, "Wajib hukumnya mendengar dan taat kepada para pemimpin dan Amirul Mukminin, baik yang baik maupun yang jahat. Baik yang menduduki kekhilafahan karena kesepakatan manusia dan keridaan mereka kepadanya maupun orang yang mendudukinya melalui ketazaman pedang dan kemudian disebut sebagai Amirul Mukminin. Tidak boleh seorang pun menjelek-jelekan mereka atau menentangnya. Begitu juga sah hukum-nya membayar zakat kepada mereka, baik pemimpin yang baik maupun pemimpin yang jahat. Demikian juga sah hukumnya salat di belakang mereka. Barangsiapa yang mengulangi salatnya maka dia itu pembuat bid'ah dan penentang sunah.
Barangsiapa yang memberontak kepada seoarang pemimpin dari para pemimpin kaum Muslimin, sementara manusia telah sepakat atasnya dan telah mengakui kekhilafahannya, baik karena rida maupun karena terpaksa, maka orang yang memberontak kepadanya berarti telah mematahkan tongkat kaum Muslimin dan telah menentang peninggalan Rasulullah saw. Jika orang yang memberontak itu mati maka dia mati sebagai matinya orang jahiliyyah."[213]
Abu Zuhrah mengatakan di dalam kitab yang sama, halaman 321, "Ahmad mempunyai pandangan yang sama dengan seluruh para fukaha tentang sahnya kepemimpinan orang yang menguasai kepemimpinan dan kemudian manusia meridainya serta memberlakukan hukum yang sesuai di antara mereka. Bahkan, Ahmad berpendapat lebih jauh dari itu. Dia mengatakan bahwa barangsiapa yang menguasai kepemimpinan, meskipun dia seorang yang suka berbuat maksiat, maka wajib taat kepadanya, supaya tidak timbul fitnah."
Oleh karena itu, kita mendapati para pengikutnya dari kalangan salafi dan Wahabi, mereka menetapkan Husain bin Ali as sebagai seorang yang durhaka dan wajib dibunuh oleh Yazid, dikarenakan dia telah memberontak kepada pemimpin zamannya. Saya telah mende-ngar sendiri dengan telinga saya bagaimana salah seorang dari mereka mendebat saya dan membela Yazid dengan keras. Dia berkata, "Husain telah memberontak kepada pemimpin zamannya, maka Oleh karena itu, dia wajib dibunuh." Lihatlah, betapa orang ini telah bertaklid secara buta kepada orang-orang sebelumnya. Apa nilai Ahmad bin Hanbal dihadapan Husain bin Ali as, sehingga saya harus mengatakan apa yang dikatakannya, melakukan apa yang difatwakannya, dan menuduh Husain bin Ali telah berbuat zalim dan durhaka?!
Jika kita melepaskan diri kita dari taklid buta yang semacam ini, lalu kemudian kita merenungi ayat-ayat Al-Qur'an, niscaya yang demikian akan lebih baik dan lebih dekat kepada kebenaran. Allah SWT berfirman, "Dan janganlah kamu cenderung kepada orang-orang yang zalim yang menyebabkan kamu disentuh api neraka." (QS. Hud: 113)
"Dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingat Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas." (QS. al-Kahfi: 28)
Allah SWT juga berfirman, "Makajanganlah kamu mengikuti orang-orang yang mendustakan (ayat-ayat Allah)." (QS. al-Qalam: 8)
Pada ayat yang lain Allah SWT juga berfirman, "Dan janganlah kamu mentaati perintah orang-orang yang melewati batas." (QS. asy-Syu'ara: 151)
Namun mereka telah meninggalkan Al-Qur'an, dan berhujjah dengan riwayat-riwayat yang dibuat oleh para penguasa Bani Umayyah, supaya manusia tunduk kepada kekuasaan mereka. Ahlul Bait telah menolak hadis-hadis ini dengan hadis-hadis yang benar dan sejalan dengan Al-Qur'an serta selaras dengan ruh Islam.
Imam Ja'far ash-Shadiq as berkata, "Barangsiapa yang suka kelangsungan hidup orang-orang yang zalim maka berarti dia suka Allah didurhakai." Di samping perkataan ini merupakan hadis, dia juga merupakan dalil akal yang kokoh. Karena hadis ini melihat bahwa barangsiapa yang tunduk dan taat kepada orang yang zalim serta tidak melakukan penentangan terhadapnya maka berarti dia suka tetap berlangsungnya kedurhakaan kepada Allah. Allah SWT berfirman,
"Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir." (QS. al-Maidah: 44)
"Barangsiapa yang tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim." (QS. al-Maidah: 45)
"Barangsiapa yang tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang fasih. " (QS. al-Maidah: 47)
Di samping ayat-ayat Al-Qur'an dan riwayat-riwayat yang memerintahkan kepada amar makruf dan nahi munkar. Oleh karena itu, tatkala Husain bin Ali as hendak melakukan perlawanan terhadap thagut pada zamannya dia berkata, "Wahai manusia, sesungguhnya Rasulullah saw telah bersabda, 'Barangsiapa yang melihat seorang penguasa zalim yang menghalalkan apa yang telah diharamkan Allah, melanggar perjanjian Allah, menentang sunah Rasulullah, dan berbuat dosa dan permusuhan terhadap hamba-hamba Allah, lalu dia tidak berusaha untuk merubahnya dengan perkataan dan perbuatan, maka Allah berhak untuk memasukkannya ke dalam tempat masuk penguasa zalim tersebut. Ingatlah, sesungguhnya mereka itu telah mendawamkan ketaatan kepada setan, meninggalkan ketaatan kepada Tuhan, menimbulkan kerusakan, membekukan hukum, memonopoli pampasan perang, serta menghalalkan apa yang telah Allah haramkan dan mengharamkan apa yang telah Allah halalkan, padahal aku lebih berhak dari selainku."[214]
Namun, apa yang harus kita katakan kepada orang yang telah meninggalkan para Imam Ahlul Bait dan menggantinya dengan para imam buatan yang tidak Allah SWT perintahkan kepada kita untuk mentaatinya. Allah SWt berfirman,
"Dan mereka berkata, 'Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami telah mentaati pemimpin-pemimpin dan pembesar-pembesar kami, lalu mereka menyesatkan kami dari jalan yang benar. Ya Tuhan kami, berilah kepada mereka azab dua kali lipat dan kutuklah mereka dengan kutukan yang besar.'" (al-Ahzab: 67 - 68)
Sungguh besar kejahatan terhadap umat Islam yang telah dilakukan oleh para penguasa Bani Umayyah, dengan membuat hadis-hadis palsu ini. Begitu juga, betapa besar dosa dari fatwa yang telah dikeluarkan oleh Ahmad bin Hanbal ini. Betapa fatwa ini telah mengecewakan generasi revolusioner Islam yang menolak kezaliman dan kediktatoran pada abad yang digambarkan sebagai abad kebangkitan dan pencerahan ini. Jika di sana terdapat kejahatan yang telah dilakukan oleh sekelompok pemuda yang bergabung di bawah bendera ajaran komunis, maka kejahatan terbesar justru dilakukan oleh para ulama jahat.

File yang Berhubungan



0 komentar:

Posting Komentar