IMAM NAWAWI (631-676H)

Beliau adalah Al-Imam, Al-Hafizh, Syaikhul Islam, Muhyiddin, Yahya bin Syaraf bin Murry bin Hasan bin Husain bin
Muhammad bin Jum'ah bin Hizam An-Nawawi. Beliau disebut juga sebagai Abu Zakariya, padahal ia tidak mempunyai
anak yang bernama Zakariya. Sebab, ia belum sempat menikah. Ia termasuk salah seorang ulama yang membujang
hingga akhir hayatnya. Dan mendapatkan gelar ''Muhyiddin'' (orang yang menghidupkan agama), padahal ia tidak
menyukai gelar ini. Dan ia memang pernah mengemukakan: "Aku tidak perbolehkan orang memberikan gelar
'Muhyiddin' kepadaku." Beliau lahir pada pertengahan bulan Muharram, atau pada sepuluh pertama bulan Muharram
(ada yang berpendapat demikian) pada tahun 631 H. di kota Nawa, sebuah daerah di bumi Hauran, Damaskus.
Pertumbuhan dan Proses Belajarnya
Beliau diasuh dan dididik atau dibina oleh ayahnya dengan gigih, sang ayah menyuruhnya untuk menuntut ilmu sejak
kecil. Hingga ia telah berhasil menghafal al-Qur-an ketika mendekati usia baligh. Beliau menghafalkan Al-Qur’an
tersebut di kotanya (Nawa) yang lingkungannya tidak kondusif untuk belajar. Setelah melihat lingkungan di Nawa yang
tidak kondusif tersebut, ayahnya membawa ia pergi ke Damaskus pada tahun 649 H. Pada saat itu, usianya telah
menginjak sembilan belas tahun. Dan akhirnya ia tinggal di sebuah Lembaga Pendidikan Rawahiyah. Di sana ia memulai
perjalanannya menuntut ilmu. Ia tidak pernah berhenti menuntut ilmu. Ia rajin dan memberikan seluruh waktunya untuk
menuntut ilmu sehingga ilmupun memberikan kepadanya sebagian darinya. Imam Nawawi bercerita tentang
dirinya: "Ketika usiaku telah mencapai 19 tahun, ayahku memboyongku pindah ke Damaskus pada saat beliau berusia
49 tahun. Di sana aku belajar di Madrasah Rawahiyyah. Selama kurang lebih 2 tahun di sana, aku jarang tidur nyenyak;
penyebabnya, tidak lain adalah karena aku sangat ingin mendalami semua pelajaran yang diberikan di Madrasah
tersebut. Akupun berhasil menghafal At-Tanbih (red:at-Tanbiih fii Furuu'isy-Syaafi’iyyah, karya Abu Ishaq asy-
Syirazi) kurang lebih selama 4,5 bulan. Selanjutnya, aku berhasil menghafal 114 Ibadat (sekitar seperempat) dari kitab
Al-Muhadzdzab (red: Al-Muhadzdzab fil Furuu’) di sisa bulan berikutnya dalam tahun tersebut. Aku juga banyak
memberikan komentar dan masukan kepada syaikh kami, Ishaq Al-Maghribi. Aku juga sangat intens dalam
bermulazamah dengan beliau. Beliaupun lalu merasa tertarik kepadaku ketika melihatku begitu menyibukkan diri dalam
semua aktifitasku dan tidak pernah kongkow-kongkow dengan kebanyakan orang. Beliaupun sangat senang kepadaku
dan akhirnya beliau mengangkatku menjadi assisten dalam halaqahnya, mengingat jama'ahnya yang begitu banyak."
Setiap hari, Imam an-Nawawi membaca dua belas pelajaran dalam bentuk syarah dan komentar. Dua pelajaran dalam
kitab al-Wasiith, satu pelajaran dalam kitab al-Muhadzdzab, satu dalam kitab al-Jam'u baina ash-Shahiihain, satu dalam
kitab Shahih Muslim, satu dalam kitab al-Luma’, karya Ibnu Jinni, satu lainnya dalam kitab Ishlaahul Manthiq, satu
pelajaran dalam kitab at-Tashriif, satu lainnya dalam Ushuulul Fiqh, satu lagi dalam kitab Asmaa’ ar-Rijaal, dan
satu lainnya dalam Ushuuluddiin. Ia selalu memberikan komentar terhadap segala sesuatu yang berkenaan
dengannya, baik menerangkan bahasa yang sulit dimengerti, penjelasan terhadap ungkapan yang tidak jelas, memberi
harakat maupun penguraian katakata
yang asing. Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memberi berkah
kepadanya dalam pemanfaatan waktu. Sehingga ia berhasil menjadikan apa yang telah disimpulkannya sebagai sebuah
karya dan menjadikan karyanya sebagai hasil maksimal dari apa yang telah disimpulkannya.
Guru-Gurunya (1) Di bidang fiqih dan ushulnya beliau berguru pada Ishaq bin Ahmad bin 'Utsman al-Maghribi lalu al-
Maqdisi, yang wafat pada tahun 650 H, 'Abdurrahman bin Nuh bin Muhammad al-Maqdisi kemudian ad- Dimasyqi, yang
wafat pada tahun 654 H, Sallar bin aI-Hasan al-Irbali kemudian al-Halabi lalu ad-Dimasyqi, yang wafat pada tahun 670
H, 'Umar bin Bandar bin 'Umar at-Taflisi asy-Syafi'i, yang wafat pada tahun 672 H, 'Abdurrahman bin Ibrahim bin Dhiya'
al-Fazari, yang lebih dikenal dengan al-Farkah, wafat pada tahun 690 H. (2) Di bidang ilmu hadits beliau berguru pada
'Abdurrahman bin Salim bin Yahya al-Anbari, yang wafat pada tahun 661 H, 'Abdul 'Aziz bin Muhammad bin 'Abdul
Muhsin al-Anshari, yang wafat pada tahun 662 H, Khalid bin Yusuf an-Nablusi, yang wafat pada tahun 663 H, Ibrahim
bin 'Isa al-Muradi, yang wafat pada tahun 668 H, Isma'il bin Abi Ishaq at-Tanukhi, yang wafat pada tahun 672 H,
'Abdurrahman bin Abi 'Umar al-Maqdisi, yang wafat pada tahun 682 H. (3) Di bidang ilmu Nahwu dan bahasa, Imam
an-Nawawi pernah belajar kepada Syaikh Ahmad bin Salim al-Mishri, yang wafat pada tahun 664 H, dan juga al-'Izz al-
Maliki. MURID-MURIDNYA
Melalui tangannya, bermunculan para ulama besar, di antaranya adalah Sulaiman bin Hilal al-Ja'fari, Ahmad Ibnu Farah
al-Isybili, Muhammad bin Ibrahim bin Sa'dullah bin Jama'ah, 'Ala-uddin 'Ali Ibnu Ibrahim yang lebih dikenal dengan Ibnul
'Aththar, ia selalu menemaninya sampai ia dikenal dengan sebutan Mukhtashar an-Nawawi (an-Nawawi junior),
Syamsuddin bin an-
Naqib, dan Syamsuddin bin Ja'wan dan masih banyak yang lainnya. PUJIAN ULAMA
TERHADAP BELIAU
Beliau adalah manusia yang sangat wara' dan zuhud. Adz-Dzahabi berkata: "Beliau adalah profil manusia yang berpola
hidup sangat sederhana dan anti kemewahan. Beliau adalah sosok manusia yang bertaqwa, qana'ah, wara', memiliki
muraqabatullah baik di saat sepi maupun ramai. Beliau tidak menyukai kesenangan pribadi seperti berpakaian
indah,
makan-minum lezat, dan tampil mentereng. Makanan beliau adalah roti dengan lauk seadanya. Pakaian beliau adalah
pakaian yang seadanya, dan hamparan beliau hanyalah kulit yang disamak." Beliau selalu berusaha untuk melakukan
amr ma'ruf dan nahi munkar sekalipun terhadap penguasa. Beliau sering berkirim surat kepada mereka yang berisi
nasihat agar berlaku adil dalam mengemban kekuasaan, menghapus cukai, dan mengembalikan hak kepada ahlinya.
Abul Abbas bin Faraj berkata: "Syaikh (An-Nawawi) telah berhasil meraih 3 tingkatan yang mana 1 tingkatannya saja jika
orang biasa berusaha untuk meraihnya, tentu akan merasa sulit. Tingkatan pertama adalah ilmu (yang dalam dan luas).
Tingkatan kedua adalah zuhud (yang sangat). Tingkatan ketiga adalah keberanian dan kepiawaiannya dalam beramar
ma'ruf nahi munkar."

WAFATNYA
Pada tahun 676 H. beliau kembali ke kampung halamannya
Nawa, sesudah mengembalikan berbagai kitab yang
dipinjamnya
dari sebuah badan waqaf, selesai menziarahi makam para guru beliau, dan sehabis bersilaturrahim dengan
para sahabat beliau yang masih hidup. Di hari keberangkatan beliau, para jama'ah yang beliau bina melepas kepergian
beliau di pinggiran kota Damaskus, mereka lalu bertanya: "Kapan kita bisa bermuwajahah lagi (wahai syaikh)?" Beliau
menjawab: "Sesudah 200 tahun." Akhirnya mereka paham bahwa yang beliau maksud adalah sesudah hari kiamat.
Sesudah berziarah ke makam orang tuanya, Baitul Maqdis, dan makam AI-Khalil (Ibrahim) ‘Alaihissalam terlebih
dahulu, barulah beliau meneruskan perjalanannya ke Nawa. Di sanalah (Nawa) beliau lalu jatuh sakit dan akhirnya wafat
-qoddasalloohu sirroh- pada malam Rabu tanggal 24 Rajab (tahun 676 H.). Ketika kabar wafatnya beliau tersiar sampai
ke Damaskus, seolah seantero Damaskus dan sekitarnya menangisi kepergian
beliau. Kaum muslimin benar-benar
merasa kehilangan beliau. Penguasa di saat itu, 'Izzuddin Muhammad bin Sha'igh bersama para jajarannya datang ke
makam Imam Nawawi di Nawa untuk menshalatkannya. Beliau ditangisi oleh tidak kurang dari 20.000 orang atau 600
keluarga lebih. Semoga Allah selalu mencurahkan rahmat yang luas kepada beliau dan membangkitkan beliau kelak
bersama mereka yang telah dikaruniai nikmat yang besar yakni dari kalangan para Nabi, Shiddiqin, Syuhada', dan
Shalihin. KITAB-KITAB KARYANYA
Kitab-kitab yang berhasil beliau tulis sampai selesai adalah: 1. Ar-Raudhah
(Raudhatut Thalihin). Di dalamnya, beliau membahas hukum-hukum As-Syarhul Kabir berikut penjelasan
cabangcabangnya
secara detail dan mengumpulkan sekaligus mengoreksi berbagai cabang permasalahan
yang semula
berserakan di sana sini: Sehingga kitab ini menjadi rujukan dalam taljih, panduan dalam tashhih,
referensi para cerdik
pandai dalam mengeluarkan fatwa, dan acuan para tokoh dalam membahas berbagai persoalan kontemporer. 2. Al-
Minhaj: Mukhtashar Muharrar Fil Fiqh;3. Daqa'iqul Minhaj; 4. Al-Manasikus Sughra; 5. Al-Manasikul Kubra;6. At-Tibyan
Fi Hamalatil Qur'an;7. Tashhihut Tanbih;8. An-Nukat ‘Alat Tanbih; 9. Al-Fatawa. Kitab ini merupakan kumpulan
berbagai persoalan yang tidak disusun berdasarkan tema per tema. Kitab ini lalu disusun secara tematis oleh murid
beliau Syaikh ‘Alauddin Al-‘Aththar dengan tambahan beberapa hal penting yang didengarnya langsung
dari beliau. 10. Syarh Shahih Muslim;11. Al-Adzkar;12. Riyadhus Shalihin;13. Al-Arba'in;14. Syarh Al-Arba'in; 15.
Thabaqatul Fuqaha'; 16. Tahdzibul Asma' Wal Lughat. Kitab No. 15 dan 16 ini belum sempat beliau rapikan dan
bersihkan dari naskah aslinya, beliau keburu wafat. Akhirnya dibersihkan dan disalin oleh Al-Hafizh Jamaluddin Al-Mazi.
17. Tashnif Fil Istiqsa' Wa Fi Istihbabil Qiyaam Li Ahlil Fadhl; dan 18. Mukhtasharut Tashniif Fil Istisqa'. Kedua kitab yang
disebut terakhir ini termasuk karya terakhir beliau. Adapun kitab yang tidak sempat beliau tulis sampai selesai
adalah: 1. 1. Syarh Al-Muhadzdzab. Ketika tengah menyusun kitab inilah
beliau wafat. Kitab ini, baru sampai pada
pembahasan Riba; 2. 2. At-Tahqiiq. Kitab ini baru sampai pada pembahasan Shalat Musafir; 3. 3. Syarh Muthawwal
'Alat Tanbih. Disebut juga dengan Tuhfatut Thalibin Nabiih, baru sampai pada pembahasan Shalat; 4. 4. Syarh Al-
Wasith, disebut juga dengan At-Tanqih, baru sampai pada pembahasan Syarat Shalat; dan 5. 5. Al-Isyarat Ila Ma
Waqa'a Fir Raudhah Minal Asma' Wal Ma'ani Wal Lughat. Kitab ini baru sampai pada pembahasan
Shalat. Sumber:
Mukhtashor Riyadhush Shalihin, Bahjatun Naazhiriin Syarh Riyaadhish Shaalihiin

Kitab Riyadus Shollihin
http://www.ziddu.com/download/5253856/RiyadhusSholihin.pdf.html

File yang Berhubungan



0 komentar:

Posting Komentar